Sabtu, Juli 26, 2008

Temukan Sensasi Baru dari ‘Psychodrama’


(Ditulis oleh Desby Juananda, Mahasiswa Fakultas Kedokteran USU Semester VI)


Semakin berkembangnya kemajuan teknologi yang disertai dengan adanya ledakan informasi menuntut suatu bentuk transfer informasi yang mampu memenuhi kebutuhan tersebut dan tetap berbasis aplikatif. Penyampaian ide/gagasan berupa teori semata dinilai kurang cukup memberikan “kesan” bagi seseorang sehingga implementasi yang diharapkan dari proses transfer informasi tersebut tidak maksimal. Training (pelatihan) lahir sebagai solusi yang dinilai mampu menjawab permasalahan tersebut. Beberapa teori yang disampaikan melalui berbagai bentuk diskusi akan terefleksikan melalui training. Sehingga implementasi yang diharapkan setelah memperoleh pengetahuan baru dari sebuah diskusi bisa dirasakan langsung.

Berbagai bentuk training telah ditawarkan sebagai solusi dalam penyampaian sebuah materi. Pertanyaannya, apakah metode training yang paling ideal ? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, terlebih dahulu kita harus mempertimbangkan tujuan dan sasaran dari training yang diadakan. Hal ini terkait dengan siapa yang akan menjadi trainee dan apakah keluaran yang diharakan (expected outcome) setelah mengikuti training tersebut. Metode training yang ideal adalah bila memperhatikan kedua hal ini. Artinya sebuah training harus tepat tujuan dan tepat sasaran. Dengan mempertimbangkan kedua hal tersebut apapun bentuk training yang dilakukan akan dapat dikatakan ideal.

Dengan tetap mempertimbangkan 4 (empat) dasar dalam sebuah pelatihan, yakni partisipasi, refleksi, generalisasi dan aplikasi lahirlah berbagai bentuk/konsep pelatihan. Partisipasi, dimaksudkan untuk menyampaikan berbagai konsep/teori yang berkaitan dengan materi yang akan disampaikan kemudian mengajak trainee untuk sama-sama mewujudkan sebuah tujuan besar dari pelatihan yang dilakukan. Setelah penyampaian teori tersebut, trainee diberikan pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan untuk membuka pandangan trainee agar mampu menemukan sendiri solusi kunci dari permasalahan yang ada. Selain itu, hal tersebut juga ditujukan untuk memancing antusias dan minat trainee untuk mengikuti training. Inilah yang dikenal dengan tahap refleksi. Selanjutnya, sampai pada tahap generalisasi, yaitu trainee akan menyampaikan hasil dari diskusi-diskusi yang telah dilakukan dan merumuskannya sebagai suatu bentuk simpulan umum. Tahap ini diakhiri dengan sebuah bentuk aplikasi, yaitu trainee diharapkan mampu mengaplikasikan apa yang diperolehnya dalam training dan bermanfaat dalam pengembangan kapasitas pribadinya serta orang-orang disekitarnya.

Belajar dari pengalaman (experiental learning) dinilai mampu memenuhi 4 (empat) kriteria tersebut. Belajar dengan metodologi experiental learning memberi kesempatan seseorang untuk lebih mengembangkan keahlian yang dimilikinya sekaligus untuk memperoleh feedback segera dari pelatihan yang diberikan. Hal ini dilatarbelakangi oleh kurang mampunya pelaksanaan pelatihan yang hanya terfokus pada teori/materi memberikan hasil yang maksimal dan berkesinambungan. Konsep belajar dari pengalaman adalah sama dengan belajar dari kehidupan sehari-hari. Bila kita mengibaratkan kehidupan sebagai ‘panggung sandiwara’ dan kita sebagai pelakukanya adalah aktor/aktris yang akan memerankan drama tersebut, maka inilah gambaran sederhana dari sebuah Psychodrama.

The Moreno Collegium for Human Centered Learning, Research and Development mengembangkan metode psychodramatic. Metode ini dimaksudkan untuk membantu trainee menemukan cara untuk mengembangkan potensi yang dimiliki, sehingga bermanfaat bagi diri sendiri, keluarga, organisasi dan masyarakat. Training ini dimaksudkan untuk memberikan keahlian (skills) dalam menghadapi “drama” kehidupan dan dilema-dilema yang dihadapi sehari-hari dengan percaya diri, kreatif dan spontan. Setiap trainee dapat berperan sebagai sutradara, aktor/aktris atau penonton sekalipun. Artinya, semua trainee akan terlibat langsung dalam dinamika yang disusun dan memiliki perannya (role) masing-masing. Spontanitas, daya logika/penalaran, kreatifitas dan kemampuan mengambil keputusan (decision maker) sangat dinilai dalam psychodrama. Pengajaran yang diperoleh dari training ini adalah kemampuan trainee memposisikan dirinya (flexibility) dalam menghadapi sebuah masalah dan kemampuan mengintegrasikan berbagai teori yang selama ini didapatkan dari kehiduan sehari-hari dengan kondisi nyata yang dihadapinya. Penerapan konsep ini sangat membutuhkan kerjasama dari semua pihak yang terlibat dan feedback dari trainee sebagai bentuk kooperatif dalam pelatihan tersebut. Dengan adanya kerjasama yang utuh, unsur-unsur emosional sekalipun akan dapat digali dari training ini dan menjadikan psychodrama sebagai sebuah metode training yang ideal.

Referensi Artikel:

1. United Nations Population Fund (DASECA) and Youth Peer Education Network (Y-PEER).2006.From Theory to Practice in Peer Educations.New York.Family Health International.p.19-22.

2. Howie,Peter.2008.The theory and practice of psychodrama, sociodrama, sociometry, role theory and group work. The Moreno Collegium-Core PsychodramaTraining Byron Bay.

3. Moreno,J.L.2002.What is Psychodrama?Australian and New Zealand Psychodrama Association Journal.ANZPA.Victoria-AUSTRALIA.

4. What is the difference between roleplaying and psychodrama? Available at http://thetrainingworld.com

SELUK BELUK SI PABRIK URINE


(Oleh: Desby Juananda, Mahasiswa Semester VI Fakultas Kedokteran USU)

(Ditulis oleh Desby Juananda, Mahasiswa Fakultas Kedokteran USU Semester VI)

Kelangsungan hidup manusia sangat bergantung kepada komponen terkecil dalam tubuh yaitu sel. Di dalam tubuh, sel dikelilingi oleh cairan internal tubuh yang asin atau yang biasa disebut cairan ekstrasel (CES). Untuk menjalankan fungsinya, sel mengadakan pertukaran zat (elektrolit) dengan cairan ekstrasel (CES) agar dapat bertahan hidup secara normal. Oleh karena itu, sel memerlukan suatu mekanisme yang dapat mempertahankan stabilitas volume dan komposisi CES yang dikenal dengan istilah homeostatis. Mekanisme ini dijalankan oleh ginjal, sepasang organ tubuh berbentuk kacang yang terletak di belakang rongga perut (abdomen). Setiap ginjal pada orang dewasa beratnya kira-kira 150 gram atau kira-kira seukuran kepalan tangan.

Secara umum, ginjal memiliki empat fungsi utama, yaitu: fungsi regulasi, fungsi ekskresi, fungsi hormonal, dan fungsi metabolisme. Sederhananya, Ginjal bekerja sebagai sebuah “saringan” yakni menyaring darah di dalam tubuh dan mengeluarkan zat dari hasil saringan (filtrat) tersebut dengan kecepatan tertentu melalui produksi urin. Dengan cara ini, ginjal mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit serta mengeluarkan berbagai zat sisa metabolisme yang toksik dan senyawa-senyawa asing dari tubuh. Ginjal juga memiliki berbagai fungsi penting, antara lain: mengatur keseimbangan asam dan basa, memelihara volume plasma untuk menjaga tekanan darah, mensekresikan hormon seperti eritropoetin yang berperan dalam pembentukan sel darah merah dan renin yang berperan dalam konservasi garam oleh ginjal serta mengubah vitamin D menjadi bentuk aktifnya.

Yang paling berperan dalam menjalankan fungsi ginjal adalah nefron, satuan fungsional berukuran mikroskopik yang disatukan satu sama lain oleh jaringan ikat. Satuan fungsional yang dimaksud adalah satuan terkecil di dalam suatu organ yang mampu melaksanakan fungsi organ tersebut. Setiap ginjal terdiri dari sekitar satu juta nefron artinya ada dua juta satuan fungsional yang berperan menjalankan fungsi primer ginjal dalam tubuh manusia. Adapun fungsi primer ginjal adalah menghasilkan urine sebagai bentuk pertahanan terhadap stabilitas komposisi CES. Nefron terdiri dari dua daerah khusus, yaitu korteks ginjal, daerah sebelah luar yang tampak granuler dan medula ginjal, daerah bagian dalam yang berupa segitiga bergaris-garis (piramida ginjal). Setiap nefron terdiri dari dua komponen, yaitu komponen vaskuler dan komponen tubulus. Pada komponen vaskuler terdapat bagian yang paling dominan disebut dengan glomerulus. Glomerulus merupakan berkas kapiler berbentuk bola tempat filtrasi/saringan sebagian air dan zat terlarut dari darah yang melewatinya. Cairan yang sudah tersaring akan mengalir ke komponen tubulus nefron, mengalami berbagai modifikasi, antara lain penyerapan kembali (reabsorbsi) zat-zat yang masih bermanfaat bagi tubuh ke dalam pembuluh darah dan sekresi zat-zat tahap kedua dari darah. Sedangkan hasil dari rangkaian proses diatas adalah urine yang akan diekskresikan dari dalam tubuh. Dapat disimpulkan, ada 3 (tiga) proses dasar yang berperan dalam pembentukan urine, yaitu: filtrasi glomerulus, reabsorbsi tubulus, dan sekresi tubulus. Selanjutnya urine yang dihasilkan akan dikumpulkan di dalam pelvis ginjal dan diteruskan ke dalam ureter. Urine akan disimpan secara temporer pada kandung kemih (buli-buli) lalu secara berkala akan dibuang dari tubuh melalui uretra.

Mengingat besarnya peranan ginjal bagi homeostatis tubuh, kesehatan ginjal sangat penting untuk diperhatikan. Jika fungsi kedua ginjal terganggu sampai pada titik keduanya tidak mampu menjalankan fungsi regulatorik dan ekskretoriknya untuk mempertahankan homeostatis, dikatakan terjadi gagal ginjal (renal failure). Gagal ginjal dapat dikelompokkan dalam dua kategori besar: (1) gagal ginjal akut, dimana seluruh atau hampir seluruh kerja ginjal tiba-tiba berhenti tetapi akhirnya membaik mendekati fungsi normal, dan (2) gagal ginjal kronis, di mana ginjal secara progresif kehilangan fungsi nefronnya satu persatu yang secara bertahap menurunkan seluruh fungsi ginjal. Gagal ginjal memiliki berbagai penyebab, yang sebagian terjadi di bagian tubuh lain dan mengenai ginjal secara sekunder. Penyebab-penyebab tersebut antara lain adalah: (1) organisme infeksius, baik yang bersifat hematogen atau masuk ke saluran kemih melalui uretra, (2) bahan toksik, misalnya timbal, arsen, pestisida, atau bahkan pemakaian aspirin dosis tinggi jangka panjang, (3) respon imun yang menyimpang, misalnya glomerulonefritis, yang kadang-kadang timbul setelah infeksi streptokokus di tenggorokkan, (4) hambatan aliran urine akibat adanya batu ginjal, tumor, atau pembesaran kelenjar prostat, dengan tekanan balik yang menurunkan filtrasi glomerulus dan merusak jaringan ginjal, (5) insufisiensi pasokan darah ginjal yang menyebabkan gangguan tekanan filtrasi. Yang terakhir ini dapat terjadi sekunder akibat gangguan sirkulasi, misalnya gagal ginjal, perdarahan, syok, atau penyempitan, dan pengerasan arteri-arteri ginjal akibat aterosklerois.

Akibat yang akan ditimbulkan oleh gagal ginjal tergantung pada kerusakannya. Pada gagal ginjal akut bersifat sedang, efek fisiologis utamanya adalah retensi darah dan cairan CES, produk buangan sisa metabolisme, dan elektrolit. Hal ini menyebabkan penumpukkan garam dan air yang berlebihan di dalam tubuh sehingga menimbulkan edema dan hipertensi. Bila gagal ginjal akut sangat parah, akan timbul anuria (berhentinya produksi urine) lengkap. Biasanya pasien akan meninggal dalam kurun waktu 8 sampai 14 hari jika fungsi ginjal tidak segera diperbaiki. Hal tersulit adalah pada kondisi gagal ginjal kronis, dimana kerusakan ginjal sering terjadi samar (insidious) sehingga gejala klinis yang serius seringkali tidak mucul sampai jumlah nefron fungsional berkurang sedikitnya 70 persen di bawah normal. Apabila ditemukan tanda-tanda dini kerusakan ginjal, seperti: mual dan muntah, malaise, anemia, edema, dan nyeri pada pinggang bagian belakang (tapping pain) segera kunjungi dokter untuk melakukan pemeriksaan fungsi ginjal.

Pemeriksaan urine (urinalisis) secara rutin sangat dianjurkan untuk mengetahui fungsi ginjal. Pemeriksaan urine melalui parameter fisik urine (warna, turbiditas, bau) dan parameter kimia (pH, Hb, glukosa, protein) merupakan pemeriksaan penunjang pada penyakit ginjal. Fungsi ginjal dapat diketahui melalui pemeriksaan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) dan konsep klirens ginjal. Manfaat klinis pemeriksaan LFG adalah: (1) deteksi dini kerusakan ginjal, (2) pemantauan profresifitas penyakit, (3) pemantauan kecukupan terapi ginjal pengganti, (4) membantu mengoptimalkan terapi dengan obat tertentu. Mengingat besarnya fungsi ginjal, menjaga kesehatan ginjal wajib dilakukan oleh siapa pun. Pemeriksaan fungsi ginjal secara dini dan berkelanjutan sangat membantu diagnosa dan terapi penyakit ginjal.

“Learning by Doing”-Dimanakah Letak Kekuatannya?


Menjadi mahasiswa yang ‘sesungguhnya’ adalah impian setiap orang yang tengah bergelut dengan dunia kemahasiswaannya. Untuk itu, memang dibutuhkan usaha dan keyakinan guna pencapaian yang optimal. Susah dan senangnya seorang mahasiswa bertumpu pada tekad yang dibawanya. Mau menjadi apa kelak juga sudah ada di depan mata, hanya saja dibutuhkan tenaga ekstra untuk mencapainya. Menjadi mahasiswa yang ‘sesungguhnya’ juga bukan hanya jiplakan semboyan “TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI”. Banyak lagi aspek yang dibutuhkan mahasiswa untuk bekalnya nanti terjun ke masyarakat.

Memang klise bila membaca kalimat seperti di atas. Tetapi, memang dirasakan susah untuk menjadi the truly mahasiswa. Banyak orang yang memang ingin menjadi mahasiswa atau hanya sekedar keinginan orang tua yang ingin melihat anaknya sukses melebihinya. Katanya untuk meningkatkan marwah keluarga. Ya, sudahlah. Memang beragam alasan kalau pertanyaan-pertanyaan seperti itu ditanyakan kepada banyak mahasiswa.

Khususnya di tempat para manusia ‘berkemeja putih’ dicetak sebagai ‘perpanjangan tangan’ Tuhan bagi orang yang sakit. Ya, dokter. Mahasiswa kedokteran saat ini dituntut untuk cepat dalam segala hal. Waktu, tenaga, profesi menuntut mahasiswa kedokteran untuk mampu bersaing kelak. Apalagi zaman sekarang ini. Teknologi kedokteran yang semakin maju dengan seabrek masalah yang bakal dihadapi dunia dalam urusan kesehatan. Sebut saja Avian Influenza yang tengah marak hingga HIV/AIDS yang dari dulu tidak pernah selesai masalahnya. Belum lagi issue yang bakal terwujud mengenai AFTA, memaksa mahasiswa kedokteran untuk lebih meningkatkan kompetensi sehingga bisa bersaing kelak. Bukan hanya dalam disiplin ilmu kedokteran juga dalam segala disiplin ilmu lainnya. Memang benar jika ada yang mengatakan, “Pasien adalah mitra kerja dokter seumur hidupnya”, karena banyak waktu yang akan kita curahkan nanti kepada masyarakat.

Lantas sudah siapkah kita ? Pertanyaan ini memang ditujukan kepada kita sebagai mahasiswa kedokteran. Apakah kini sudah terlambat untuk memulai belajar menjadi ‘mahasiswa kedokteran’?, akan terjawab jika kita punya tekad dan semangat berjuang bersama. Dalam bukunya, DR. Aidh Al-Qarni pernah mengatakan “ Bayangkan hal yang paling pahit ketika Anda merasa takut menghadapi masalah. Sesudah itu, siapkanlah dirimu untuk menerima itu. Dengan kesiapan seperti itu, Anda akan merasakan ketenangan dan kemudahan”.

Ya, memang kesiapan yang matang dibutuhkan untuk pencapaian yang maksimal. Tidak ada kata lain selain belajar dan belajar.Learning by Doing’ , dimanakah letak kekuatannya ? Kita sadar bahwa belajar menjadi lebih baik adalah wajib hukumnya. Belajar memiliki hukum wajib terletak pada pencapainnya. Sangat merugilah seseorang jika waktu yang diberikan hanya disia-siakan untuk hal yang tidak bermanfaat, ya kan ?

Namun, jangan terburu-buru berfikir rumit untuk belajar. Kerumitan dalam berfikir hanya akan mendatangkan kesusahan. Kesusahan justru induk dari kemalasan. Dan malas hanya akan membuat kita menjadi orang yang bodoh. Belajar akan terasa mudah jika kita ‘merasakannya’.Lets try it and then do it, again and again…it will make you feel that’s easy. Ya, survey menunjukkan teorikal jauh lebih rendah kualitas pencapainnya bila dibandingkan praktikal. Seberapa hebat pun seorang mahasiswa kedokteran belajar nyuntik , percayalah tidak akan bisa kalau tidak dicoba. Ini saja sebenarnya sudah cukup menjawab betapa kuatnya makna ‘Learning by doing’ . Kita sebagai mahasiswa kedokteran pasti tahu bahwa aktivitas motorik sangat dibutuhkan untuk mendukung sebuah perkembangan, apapun itu, ya kan ?

Nah, sekarang tunggu apa lagi ? Coba dan terima tantangannya. Kini sudah banyak fasilitas yang disediakan, jika mahasiawa mau belajar. Banyak organisasi mahasiwa yang menawarkan menu yang sama, ‘learning by doing’. Dan beragam cara yang dilakukan untuk menghasilkan mahasiwa yang mampu mandiri dengan kaki dan tangan sendiri, cerdas, berketerampilan, memiliki sense of social yang tinggi, tanggung jawab dan lain sebagainya. Ada yang menawarkan kegiatan-kegiatan yang membangkitkan semangat kebersamaan, ada juga yang menciptakan situasi (dinamika) keadaan yang memaksa seseorang melakukan sesuatu. However, kembali lagi pada tujuan dasar sebuah pembelajaran. Menciptakan insan yang cerdas, mandiri, kuat dan bertanggung jawab.

Dalam ‘learning by doing’ banyak hal yang menarik. Dari sepuluh orang yang sama-sama diberikan kondisi belajar seperti ini, maka sepuluh karakter juga yang dapat kita lihat, tercipta dari apa yang dilakukannya. Ada yang berani optimis untuk bilang, “Ya, saya bisa !”, ada yang pasif dan menunggu uluran ide dan tenaga dari orang lain dan juga yang apatis dengan lingkungannya. Bahkan tidak jarang yang menolak untuk menerima tantangan yang diberikan.

Ya, itulah romantikanya. Ada yang melihatnya sebagai sesuatu yang positif ada juga pendapat sebaliknya. Ketidaksiapan justru beralasan pada sosok yang diyakini mampu memberi contoh terlebih dahulu sebelum menerima tantangan ’learning by doing’. Lantas dimana letak mandirinya seorang mahasiwa ? Apakah cukup generasi struktural bangsa hanya menjadi follower? So, siapa yang seharusnya menjadi trend center?

Learning by Doing memang cukup kuat untuk memfasilitasi proses belajar seseorang, apapun itu bentuknya, bila berani untuk mencoba, silahkan rasakan manfaatnya. Namun, jangan terjebak pada konsep-konsep kaku yang cenderung lahir dalam usaha pembelajaran ini. Banyak juga yang memanfaatkan konsep Learning by Doing sebagai tumbal saja untuk menutupi kematian sebuah proses. Maksudnya, jangan sampai apa yang kita anggap sebuah proses pembelajaran justru hanya akan mendatangkan kebodohan sedikit demi sedikit. Kebodohan yang berinduk pada sebuah ketidakpemahaman akan sebuah konsep.

Keputusan untuk menerima cara belajar seperti ini harus di dukung juga oleh kemantapan akan konsep diri. Artinya, learning by doing tidak dilakukan dengan modal dengkul doang. Jelas pemahaman akan konsep apa yang akan dilakukan, penting sebagai penunjang keberadaan kita dalam proses belajar ini. Lucu jika menyadari jika kita perang tanpa memikul senjata diatas bahu kita sendiri. Justru hanya akan mengurung kita pada lingkaran pembodohan, ya kan ?

Hati-hati juga dengan oknum-oknum tertentu yang kadang-kadang justru memanfaatkan konsep learning by doing untuk menjerat seseorang sebagai korban pelampiasan lepas tangan. Untuk melepas tangggung jawab yang seharusnya dibebankan kepadanya, kadang-kadang seseorang dengan mudahnya melimpahkan suatu tugas kepada orang lain dengan motif learning by doing. Hal ini kembali kepada kita dalam pintar-pintar untuk memilih proses pembelajaran apa yang akan kita lakkan. Intinya, tetap alert, sungguh itu dalam hal apapun.

Kampanye “No-Go-Tell” Selamatkan Anak-Anak Cacat

(Ditulis oleh Desby Juananda, Mahasiswa Semester VII Fakultas Kedokteran USU)


Dari dua milyar jumlah anak di dunia terdapat lebih dari seratus juta anak menderita cacat fisik dan mental। Angka yang terbilang cukup besar ini telah berhasil mencuri perhatian dunia disaat program A World Fit for Children tengah marak dikampanyekan. Ketergantungan anak cacat kepada sesuatu sebagai penopang hidup membuat mereka sangat rentan dengan segala tindak penganiayaan dan pelecehan. Betapa tidak, jika anak yang normal saja tidak luput dari cengkraman penganiayaan dan pelecehan, apalagi bagi anak dengan segala keterbatasan fisik dan mental. Seratus dari seribu anak cacat telah dicuri haknya akan kasih sayang dan perhatian. Tidak berhenti sampai disitu saja, peperangan dan kekerasan politik turut mengancam kehidupan mereka bahkan menambah catatan jumlah anak-anak cacat di dunia.

Pada dasarnya cukup sulit untuk mempercayai bahwa anak cacat sangat rentan terhadap penganiayaan dan pelecahan. Hal ini jugalah yang menyebabkan keluarga dan orang-orang terdekat kurang mempersiapkan kondisi fisik, mental dan intelektualnya. Padahal dengan arus informasi yang melimpah dan ditunjang oleh aksesnya yang mudah seharusnya telah membantu keluarga dalam meng-update segala informasi yang dibutuhkan untuk merawat dan melindungi anak cacat. Setelah dianalisa ternyata informasi saja tidak cukup membekali keluarga dalam menunjang perkembangan sekaligus menjamin keamanan bagi anak-anak dari penganiayaan dan pelecehan. Sederhananya, dibutuhkan suatu bentuk konkrit seperti “latihan” bila suatu hari nanti terjadi hal-hal yang tidak diinginkan tersebut. Inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya sebuah program dengan konsep sederhana, mudah, dan aplikatif yang dikenal dengan “No-Go-Tell”. Berani untuk katakan tidak, segera cari pertolongan dan ceritakan yang telah terjadi.

Oleh konsep “No-Go-Tell”, seorang anak dengan keterbatasan fisik dan mental diajarkan untuk berani mengatakan “Tidak!” terhadap segala bentuk penganiayaan dan pelecehan. Kemudian anak juga diajarkan untuk segera mencari pertolongan dari orang terdekat yang dapat dipercaya untuk melindunginya. Setelah itu, anak diajarkan juga untuk berani menceritakan segala hal yang terjadi pada dirinya hingga berujung pada tindak penganiayaan dan pelecehan. Konsep ini membutuhkan kerjasama yang kuat dari semua pihak yang bersentuhan secara langsung dengan anak tersebut. Artinya kesuksesan program ini sangat bergantung pada kesungguhan dan kepedulian segala pihak yang terlibat di dalamnya, seperti: orang tua, sekolah, lingkungan rumah, dan lain-lain.

“No-Go-Tell” mengajarkan kepada setiap orang tua bahwa anak cacat juga beresiko terhadap segala bentuk penganiayaan dan pelecehan seperti anak-anak lainnya. Setiap orang tua harus mendidik anak-anaknya dengan menyampaikan berbagai informasi-informasi dan mengingatkan untuk senantiasa waspada terhadap segala tindak penganiayaan dan pelecehan. Menjalin komunikasi dua arah dan tetap menjaga keterbukaan diantara keduanya menjadi kunci utama dalam hal ini walaupun dengan segala keterbatasan fisik dan mental yang dimiliki oleh anak.

Ada 2 (dua) kemampuan dasar yang harus dimiliki oleh anak-anak cacat dalam penerapan konsep ini, yaitu: keterampilan berkomunikasi dan keahlian membela diri. Keterampilan berkomunikasi penting sebagai “pintu gerbang” segala informasi baik yang sifatnya input maupun output. Mengasah keterampilan berkomunikasi anak cacat sangat bergantung kepada jenis kecacatan yang dimiliki. Untuk hal tersebut, kini banyak solusi yang dimiliki sehingga tidak lagi menjadi kendala yang berarti.

Komunikasi yang baik juga menunjang bagi pencapaian kemampuan dasar yang kedua, yakni keahlian membela diri. Dalam konsep “No-Go-Tell”, berani mengatakan “Tidak!” merupakan suatu bentuk pembelaan diri yang paling sederhana. Membela diri tidak harus berorientasi pada kekuatan fisik (otot). Apalagi dalam hal ini, anak cacat memiliki berbagai keterbatasan baik fisik maupun mental. Membela diri yang dimaksudkan dalam hal ini lebih kepada bagaimana anak-anak cacat dengan segala keterbatasannya dapat melakukan sesuatu untuk melindungi dirinya. Dalam hal ini termasuk inisiatif untuk mencari pertolongan kepada orang-orang terdekat yang dipercayainya.

Polemik penganiayaan dan pelecahan pada anak cacat sepatutnya tidak luput dari perhatian dan pengawasan orang tua. Dalam hal ini, orang tua adalah komponen keluarga yang bersentuhan secara langsung dengan dinamika kehidupan anaknya. Orang tua juga seharusnya bertanggung jawab penuh terhadap keamanan anak dalam aktivitasnya sehari-hari. Segala kemungkinan tindak kejahatan dapat terjadi dimanapun dan kapanpun. Dalam banyak kasus yang terjadi, anak cacat tidak dapat mencegah dan menolak segala bentuk penganiayaan dan pelecehan sehingga peran serta orang tua amatlah sangat penting.

Mulai saat ini bukalah mata seluas-luasnya. Perangilah segala bentuk kekerasan pada anak, khususnya anak cacat. Pupuklah semangat untuk melindungi dan mengayomi anak-anak. Mereka adalah makhluk kecil yang dititipkan oleh Sang Pencipta sebagai embun yang akan menyegarkan dunia. Mulailah dari hal-hal yang sederhana. Dengungkanlah semangat kampanye “No-Go-Tell” diatas dunia. Hal tersebut bukan hanya kewajiban orang seorang tetapi merupakan kewajiban siapun yang menginginkan dunia tetap indah hingga akhir hari nanti.

Terlahir ke dunia adalah sebuah “pilihan’ bukan “ketentuan”. Di dalamnya terkandung janji bahwa dunia akan menyambut kehadiran siapapun dengan senyum kebahagiaan. Inilah yang dikatakan “pilihan” yang tepat. Setiap anak yang dilahirkan ke dunia mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan cinta, kasih sayang, kebahagiaan dan rasa aman. Penuhilah janji yang telah dititahkan di pundak kita semua. Wujudkanlah miniatur firdaus yang nyata bagi anak-anak. Yakinkanlah bahwa dunia memang layak untuk mereka. Semangat yang ditunjukkan dunia melalui World Summit for Children delapan belas tahun yang lalu telah berhasil melahirkan sebuah cita-cita mulia, A World Fit for Children. Dunia memang layak untuk anak-anak dan berikanlah masa depan yang cerah bagi seluruh anak-anak di dunia.