Sabtu, Juli 26, 2008

Temukan Sensasi Baru dari ‘Psychodrama’


(Ditulis oleh Desby Juananda, Mahasiswa Fakultas Kedokteran USU Semester VI)


Semakin berkembangnya kemajuan teknologi yang disertai dengan adanya ledakan informasi menuntut suatu bentuk transfer informasi yang mampu memenuhi kebutuhan tersebut dan tetap berbasis aplikatif. Penyampaian ide/gagasan berupa teori semata dinilai kurang cukup memberikan “kesan” bagi seseorang sehingga implementasi yang diharapkan dari proses transfer informasi tersebut tidak maksimal. Training (pelatihan) lahir sebagai solusi yang dinilai mampu menjawab permasalahan tersebut. Beberapa teori yang disampaikan melalui berbagai bentuk diskusi akan terefleksikan melalui training. Sehingga implementasi yang diharapkan setelah memperoleh pengetahuan baru dari sebuah diskusi bisa dirasakan langsung.

Berbagai bentuk training telah ditawarkan sebagai solusi dalam penyampaian sebuah materi. Pertanyaannya, apakah metode training yang paling ideal ? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, terlebih dahulu kita harus mempertimbangkan tujuan dan sasaran dari training yang diadakan. Hal ini terkait dengan siapa yang akan menjadi trainee dan apakah keluaran yang diharakan (expected outcome) setelah mengikuti training tersebut. Metode training yang ideal adalah bila memperhatikan kedua hal ini. Artinya sebuah training harus tepat tujuan dan tepat sasaran. Dengan mempertimbangkan kedua hal tersebut apapun bentuk training yang dilakukan akan dapat dikatakan ideal.

Dengan tetap mempertimbangkan 4 (empat) dasar dalam sebuah pelatihan, yakni partisipasi, refleksi, generalisasi dan aplikasi lahirlah berbagai bentuk/konsep pelatihan. Partisipasi, dimaksudkan untuk menyampaikan berbagai konsep/teori yang berkaitan dengan materi yang akan disampaikan kemudian mengajak trainee untuk sama-sama mewujudkan sebuah tujuan besar dari pelatihan yang dilakukan. Setelah penyampaian teori tersebut, trainee diberikan pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan untuk membuka pandangan trainee agar mampu menemukan sendiri solusi kunci dari permasalahan yang ada. Selain itu, hal tersebut juga ditujukan untuk memancing antusias dan minat trainee untuk mengikuti training. Inilah yang dikenal dengan tahap refleksi. Selanjutnya, sampai pada tahap generalisasi, yaitu trainee akan menyampaikan hasil dari diskusi-diskusi yang telah dilakukan dan merumuskannya sebagai suatu bentuk simpulan umum. Tahap ini diakhiri dengan sebuah bentuk aplikasi, yaitu trainee diharapkan mampu mengaplikasikan apa yang diperolehnya dalam training dan bermanfaat dalam pengembangan kapasitas pribadinya serta orang-orang disekitarnya.

Belajar dari pengalaman (experiental learning) dinilai mampu memenuhi 4 (empat) kriteria tersebut. Belajar dengan metodologi experiental learning memberi kesempatan seseorang untuk lebih mengembangkan keahlian yang dimilikinya sekaligus untuk memperoleh feedback segera dari pelatihan yang diberikan. Hal ini dilatarbelakangi oleh kurang mampunya pelaksanaan pelatihan yang hanya terfokus pada teori/materi memberikan hasil yang maksimal dan berkesinambungan. Konsep belajar dari pengalaman adalah sama dengan belajar dari kehidupan sehari-hari. Bila kita mengibaratkan kehidupan sebagai ‘panggung sandiwara’ dan kita sebagai pelakukanya adalah aktor/aktris yang akan memerankan drama tersebut, maka inilah gambaran sederhana dari sebuah Psychodrama.

The Moreno Collegium for Human Centered Learning, Research and Development mengembangkan metode psychodramatic. Metode ini dimaksudkan untuk membantu trainee menemukan cara untuk mengembangkan potensi yang dimiliki, sehingga bermanfaat bagi diri sendiri, keluarga, organisasi dan masyarakat. Training ini dimaksudkan untuk memberikan keahlian (skills) dalam menghadapi “drama” kehidupan dan dilema-dilema yang dihadapi sehari-hari dengan percaya diri, kreatif dan spontan. Setiap trainee dapat berperan sebagai sutradara, aktor/aktris atau penonton sekalipun. Artinya, semua trainee akan terlibat langsung dalam dinamika yang disusun dan memiliki perannya (role) masing-masing. Spontanitas, daya logika/penalaran, kreatifitas dan kemampuan mengambil keputusan (decision maker) sangat dinilai dalam psychodrama. Pengajaran yang diperoleh dari training ini adalah kemampuan trainee memposisikan dirinya (flexibility) dalam menghadapi sebuah masalah dan kemampuan mengintegrasikan berbagai teori yang selama ini didapatkan dari kehiduan sehari-hari dengan kondisi nyata yang dihadapinya. Penerapan konsep ini sangat membutuhkan kerjasama dari semua pihak yang terlibat dan feedback dari trainee sebagai bentuk kooperatif dalam pelatihan tersebut. Dengan adanya kerjasama yang utuh, unsur-unsur emosional sekalipun akan dapat digali dari training ini dan menjadikan psychodrama sebagai sebuah metode training yang ideal.

Referensi Artikel:

1. United Nations Population Fund (DASECA) and Youth Peer Education Network (Y-PEER).2006.From Theory to Practice in Peer Educations.New York.Family Health International.p.19-22.

2. Howie,Peter.2008.The theory and practice of psychodrama, sociodrama, sociometry, role theory and group work. The Moreno Collegium-Core PsychodramaTraining Byron Bay.

3. Moreno,J.L.2002.What is Psychodrama?Australian and New Zealand Psychodrama Association Journal.ANZPA.Victoria-AUSTRALIA.

4. What is the difference between roleplaying and psychodrama? Available at http://thetrainingworld.com

Tidak ada komentar: