Sabtu, Juli 26, 2008

“Learning by Doing”-Dimanakah Letak Kekuatannya?


Menjadi mahasiswa yang ‘sesungguhnya’ adalah impian setiap orang yang tengah bergelut dengan dunia kemahasiswaannya. Untuk itu, memang dibutuhkan usaha dan keyakinan guna pencapaian yang optimal. Susah dan senangnya seorang mahasiswa bertumpu pada tekad yang dibawanya. Mau menjadi apa kelak juga sudah ada di depan mata, hanya saja dibutuhkan tenaga ekstra untuk mencapainya. Menjadi mahasiswa yang ‘sesungguhnya’ juga bukan hanya jiplakan semboyan “TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI”. Banyak lagi aspek yang dibutuhkan mahasiswa untuk bekalnya nanti terjun ke masyarakat.

Memang klise bila membaca kalimat seperti di atas. Tetapi, memang dirasakan susah untuk menjadi the truly mahasiswa. Banyak orang yang memang ingin menjadi mahasiswa atau hanya sekedar keinginan orang tua yang ingin melihat anaknya sukses melebihinya. Katanya untuk meningkatkan marwah keluarga. Ya, sudahlah. Memang beragam alasan kalau pertanyaan-pertanyaan seperti itu ditanyakan kepada banyak mahasiswa.

Khususnya di tempat para manusia ‘berkemeja putih’ dicetak sebagai ‘perpanjangan tangan’ Tuhan bagi orang yang sakit. Ya, dokter. Mahasiswa kedokteran saat ini dituntut untuk cepat dalam segala hal. Waktu, tenaga, profesi menuntut mahasiswa kedokteran untuk mampu bersaing kelak. Apalagi zaman sekarang ini. Teknologi kedokteran yang semakin maju dengan seabrek masalah yang bakal dihadapi dunia dalam urusan kesehatan. Sebut saja Avian Influenza yang tengah marak hingga HIV/AIDS yang dari dulu tidak pernah selesai masalahnya. Belum lagi issue yang bakal terwujud mengenai AFTA, memaksa mahasiswa kedokteran untuk lebih meningkatkan kompetensi sehingga bisa bersaing kelak. Bukan hanya dalam disiplin ilmu kedokteran juga dalam segala disiplin ilmu lainnya. Memang benar jika ada yang mengatakan, “Pasien adalah mitra kerja dokter seumur hidupnya”, karena banyak waktu yang akan kita curahkan nanti kepada masyarakat.

Lantas sudah siapkah kita ? Pertanyaan ini memang ditujukan kepada kita sebagai mahasiswa kedokteran. Apakah kini sudah terlambat untuk memulai belajar menjadi ‘mahasiswa kedokteran’?, akan terjawab jika kita punya tekad dan semangat berjuang bersama. Dalam bukunya, DR. Aidh Al-Qarni pernah mengatakan “ Bayangkan hal yang paling pahit ketika Anda merasa takut menghadapi masalah. Sesudah itu, siapkanlah dirimu untuk menerima itu. Dengan kesiapan seperti itu, Anda akan merasakan ketenangan dan kemudahan”.

Ya, memang kesiapan yang matang dibutuhkan untuk pencapaian yang maksimal. Tidak ada kata lain selain belajar dan belajar.Learning by Doing’ , dimanakah letak kekuatannya ? Kita sadar bahwa belajar menjadi lebih baik adalah wajib hukumnya. Belajar memiliki hukum wajib terletak pada pencapainnya. Sangat merugilah seseorang jika waktu yang diberikan hanya disia-siakan untuk hal yang tidak bermanfaat, ya kan ?

Namun, jangan terburu-buru berfikir rumit untuk belajar. Kerumitan dalam berfikir hanya akan mendatangkan kesusahan. Kesusahan justru induk dari kemalasan. Dan malas hanya akan membuat kita menjadi orang yang bodoh. Belajar akan terasa mudah jika kita ‘merasakannya’.Lets try it and then do it, again and again…it will make you feel that’s easy. Ya, survey menunjukkan teorikal jauh lebih rendah kualitas pencapainnya bila dibandingkan praktikal. Seberapa hebat pun seorang mahasiswa kedokteran belajar nyuntik , percayalah tidak akan bisa kalau tidak dicoba. Ini saja sebenarnya sudah cukup menjawab betapa kuatnya makna ‘Learning by doing’ . Kita sebagai mahasiswa kedokteran pasti tahu bahwa aktivitas motorik sangat dibutuhkan untuk mendukung sebuah perkembangan, apapun itu, ya kan ?

Nah, sekarang tunggu apa lagi ? Coba dan terima tantangannya. Kini sudah banyak fasilitas yang disediakan, jika mahasiawa mau belajar. Banyak organisasi mahasiwa yang menawarkan menu yang sama, ‘learning by doing’. Dan beragam cara yang dilakukan untuk menghasilkan mahasiwa yang mampu mandiri dengan kaki dan tangan sendiri, cerdas, berketerampilan, memiliki sense of social yang tinggi, tanggung jawab dan lain sebagainya. Ada yang menawarkan kegiatan-kegiatan yang membangkitkan semangat kebersamaan, ada juga yang menciptakan situasi (dinamika) keadaan yang memaksa seseorang melakukan sesuatu. However, kembali lagi pada tujuan dasar sebuah pembelajaran. Menciptakan insan yang cerdas, mandiri, kuat dan bertanggung jawab.

Dalam ‘learning by doing’ banyak hal yang menarik. Dari sepuluh orang yang sama-sama diberikan kondisi belajar seperti ini, maka sepuluh karakter juga yang dapat kita lihat, tercipta dari apa yang dilakukannya. Ada yang berani optimis untuk bilang, “Ya, saya bisa !”, ada yang pasif dan menunggu uluran ide dan tenaga dari orang lain dan juga yang apatis dengan lingkungannya. Bahkan tidak jarang yang menolak untuk menerima tantangan yang diberikan.

Ya, itulah romantikanya. Ada yang melihatnya sebagai sesuatu yang positif ada juga pendapat sebaliknya. Ketidaksiapan justru beralasan pada sosok yang diyakini mampu memberi contoh terlebih dahulu sebelum menerima tantangan ’learning by doing’. Lantas dimana letak mandirinya seorang mahasiwa ? Apakah cukup generasi struktural bangsa hanya menjadi follower? So, siapa yang seharusnya menjadi trend center?

Learning by Doing memang cukup kuat untuk memfasilitasi proses belajar seseorang, apapun itu bentuknya, bila berani untuk mencoba, silahkan rasakan manfaatnya. Namun, jangan terjebak pada konsep-konsep kaku yang cenderung lahir dalam usaha pembelajaran ini. Banyak juga yang memanfaatkan konsep Learning by Doing sebagai tumbal saja untuk menutupi kematian sebuah proses. Maksudnya, jangan sampai apa yang kita anggap sebuah proses pembelajaran justru hanya akan mendatangkan kebodohan sedikit demi sedikit. Kebodohan yang berinduk pada sebuah ketidakpemahaman akan sebuah konsep.

Keputusan untuk menerima cara belajar seperti ini harus di dukung juga oleh kemantapan akan konsep diri. Artinya, learning by doing tidak dilakukan dengan modal dengkul doang. Jelas pemahaman akan konsep apa yang akan dilakukan, penting sebagai penunjang keberadaan kita dalam proses belajar ini. Lucu jika menyadari jika kita perang tanpa memikul senjata diatas bahu kita sendiri. Justru hanya akan mengurung kita pada lingkaran pembodohan, ya kan ?

Hati-hati juga dengan oknum-oknum tertentu yang kadang-kadang justru memanfaatkan konsep learning by doing untuk menjerat seseorang sebagai korban pelampiasan lepas tangan. Untuk melepas tangggung jawab yang seharusnya dibebankan kepadanya, kadang-kadang seseorang dengan mudahnya melimpahkan suatu tugas kepada orang lain dengan motif learning by doing. Hal ini kembali kepada kita dalam pintar-pintar untuk memilih proses pembelajaran apa yang akan kita lakkan. Intinya, tetap alert, sungguh itu dalam hal apapun.

Tidak ada komentar: